Teori
belajar sosiokultur atau yang juga dikenal sebagai teori belajar ko-kontruktivistik merupakan teori
belajar yang titik tekan utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar
dengan bantuan orang lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Development (ZPD) atau
Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya
membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang
dihadapinya
Teori
yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa
intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori
ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali
melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal
(internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri).
Vygotsky
berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan terjadinya
perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Yuliani (2005: 44) secara spesifik
menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut Vygotsky adalah :
1. Membantu memecahkan masalah
Alat berfikir mampu membuat seseorang untuk memecahkan masalahnya.
Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu menentukan keputusan yang
diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya.
2. Memudahkan dalam melakukan
tindakan
Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat
seseorang mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif dan seefisien mungkin
untuk mencapai tujuan.
3. Memperluas kemampuan
Melalui alat berfikir setiap individu mampu memperluas wawasan
berfikir dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang
ada di sekitarnya.
4. Melakukan sesuatu sesuai
dengan kapasitas alaminya.
Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin
intens menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai
dengan kapasitasnya.
Inti dari teori belajar sosiokultur ini
adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan
semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu.
Berdasarkan
teori Vygotsky Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa hal yang perlu untuk
diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu :
1.
Dalam kegiatan pembelajaran
hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona
perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.
2.
Pembelajaran perlu dikaitkan
dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada perkembangan aktualnya.
3.
Pembelajaran lebih diarahkan
pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada
kemampuan intramentalnya.
4.
Anak diberikan kesempatan yang
luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya
dengan pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan
masalah
5.
Proses Belajar dan pembelajaran
tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan ko-konstruksi
Pada penerapan pembelajaran dengan teori belajar sosiokultur, guru
berfungsi sebagai motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan
memiliki gairah untuk berfikir, fasilitator, yang membantu menunjukkan jalan
keluar bila siswa menemukan hambatan dalam proses berfikir, menejer yang
mengelola sumber belajar, serta sebagai rewarder
yang memberikan penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa, sehingga mampu
meningkatkan motivasi yang lebih tinggi dari dalam diri siswa. Pada intinya,
siswalah yang dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri untuk membangun ilmu
pengetahuan.
Dapat
disimpulkan bahwa dalam teori belajar sosiokultur, proses belajar tidak dapat
dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas
berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna
sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks
sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat
dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari
kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda.
Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu
dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di
mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas,
interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
*Sumber Bacaan:
Asri Budiningsih. (2003). Belajar
dan Pembelajaran. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri
Yogyakarta.
H.A.R. Tilaar. (2002). Pendidikan
Kebudayaan dan masyarakat Madani Indonesia. Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya.
Moll, Luis C. (1993). Vygotsky
& Education Instructional Implications and Applications of Sociohistorical
Psychology. Australia : Cambridge University Press.
Yuliani Nurani Sujiono, dkk. III. (2005). Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta : Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka
Bu dosen, sekarang kan lagi rame tuh guru PPKn yang diduga gay dan turut serta dalam pembunuhan beberapa gay di nganjuk. apakah kerangka pikir Vygotski ini dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena ini? (kegagalan tersangka dalam mempelajari norma dan perilaku yang benar dari masyarakat). matur nuwun :)
BalasHapus